Perjalanan waktu yang panjang dari kehidupan
manusia di daerah ini hingga keberadaan kita saat ini, cenderung secara alamiah
maupun tindakan ketidaksadaran manusia melunturkan fakta-fakta sejarah. Oleh
karena itu, kesadaran untuk menguak kembali fakta-fakta historis sebagai
landasan berpijak ke depan yang lebih baik adalah tindakan yang sangat
bijaksana. Tindakan ini merupakan salah satu makna belajar sejarah, yakni
menjadi manusia yang bijaksana dalam berpikir dan bertindak. Mengacu pada topik
di atas, maka makna belajar sejarah dari tulisan ini paling tidak dapat
menggugah kesadaran akan nilai-nilai sejarah tanpa harus terjebak pada
romantisme masa lalu. Untuk itu bagi generasi Loloda, adalah sesuatu yang tidak
berlebihan jika mempelajari sejarahnya sekaligus merekonstruksi nlai-nilai yang
terkandung di dalamnya sebagai upaya merancanag bagun masa depan negerinya yang
lebih baik.
Perkembangan sejarah Maluku Utara telah memperlihatkan
bahwa Loloda merupakan sebuah kawasan dengan komunitas masyarakat yang pada
awalnya terbentuk melalui jaringan kekuasaan tradisional. Kondisi ini adalah
sesuatu yang tidak bisa dipungkiri karena wilayah ini pernah dilegitimasi
melalui organisasi politik yang berbentuk kerajaan. Dalam catatan sejarah
politik di Maluku Utara, dijelaskan bahwa Kerajaan Loloda merupakan salah satu
Kerajaan Maluku yang tidak terkonfigurasi dalam kesatuan Moloku Kie Raha
(Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo). Kenyataan ini disebabkan Kerajaan Loloda
tidak sempat menghadiri pertemuan Raja-raja Maluku di Pulau Moti (Moti Staten
Verbond) pada tahun 1322 yang diprakarsai oleh Raja/Kolano Ternate Sida Arief
Malamo. Tidak dijelaskan secara jelas dalam sumber tertulis kapan Kerajaan
Loloda ini terbenuk. Sejarawan Paramita Abdurrahman mencatat bahwa menurut
sumber dari Nagara Kartagama Majapahit sebagamana ditulis oleh MPU Prapnca
menyebutkan bahwa pada masa paling awal telah berkuasa seorang Kolano di Loloda
Halmahera.
Menurut Pemerhati Sejarah lokal Abdul Hamid Hasan
dalam bukunya “Aroma Sejarah dan Budaya Ternate” mengungkapkan bahwa secara
umum Kerajaan-kerajaan Maluku termasuk Kerajaan Loloda dan Kerajaan Moro
berdiri pada abad ke-13. Bahkan disebutkan juga bahwa dua kerajaan ini adalah
yang tertua di Halmahera. Dalam Kroniek Van Het Rijk Batjan (Kronik Kerajaan
Bacan) sebagaimana dutulis oleh Coolchaas, dikisahkan bahwa Kerajaan Loloda
didirikan oleh Kaicil Komalo Besy, putera Sultan Bacan yang pertama Said
Muhammad Baqir Bin Jafar Shadik yang bergelar Sri Maharaja yang bertahta di
bukit Sigara dengan perkawinannya dengan Boki Topowo dari Galela. Menurut
cerita masyarakat Loloda mengungkapkan bahwa Kerajaan Loloda didirikan oleh
seorang tokoh legendaris yang datang dari Ternate via Galela. Tokoh ini berama
Kolano Tolo alias Kolano Usman Malamo. Peristiwa kedatangan Raja Loloda ini
berkaitan dngan meletusnya Gunung Tarakani di Galela (cerita lain menyebut
Gunung Mamuya) yang kemudian mendorong tokoh ini menyingkir ke Loloda. Dari
peristiwa inilah yang kemudian menjadi cikal-bakal nama Loloda yang dalam
bahasa Galela disebut Loda yang berarti pindah atau hijrah. Sebelumnya nama
Loloda adalah Jiko Mabirahi. Dari beberapa versi di atas menunjukkan bahwa
keberadaan Loloda dalam sejarah kekuasaan politik di Maluku jelas merupakan
suatu keniscayaan sejarah. Sebagai Kerajaan yang tidak mengikuti Persekutuan
Moti (Moti Staten Verbond) tahun 1322 sebagaimana disebutkan di atas, maka
Kerajaan Loloda pun kemudian tidak terlalu mendominasi panggung sejarah Maluku
Utara. Hal ini adalah sesuatu yang tidak bisa dipungkiri karena sesungguhnya
pengaruh politik Kerajaan Loloda juga tidak teralalu signifikan dalam
percaturan politik Kerajaan-kerajaan Maluku ketika itu.
Ketka datangnya bangsa Portogis di Maluku pada
abad ke-16, pengaruh Kerajaan Loloda sudah tidak berpengaruh untuk kepentingan
Portogis. Dari sejumlah sumber yang ada, hanya mengungkapkan bahwa kepentingan
Portogis di Halmahera Utara lebih menonjol pada kawasan Kerajaan Moro yang
belakangan terbagi menjadi Moro-Tia dan Moro-Tai (Moro Daratan dan Moro
diseberang Lautan). Kondisi ini terekam dari pengaruh Missi Ordo Jesuit
Khatolik yang pada akhirnya berhasil membaptis sebagian orang-orang Moro
termasuk Raja Moro di Mamuya dengan nama baptisan Don Joao de Mamuya.
Ketika Sultan Baabullah Datu Sjah berhasil
mengusir Portogis dari Maluku, Kerajaan Moro kemudian dianeksasi dan
digabungkan kedalam wilayah Kesultanan Ternate. Peristiwa ini terjadi pada
perempatan terakhir abad ke-16. Dengan demikian maka riwayat Kerajaan Moro pun
praktis berakhir. Sementara Kerajaan Loloda masih tetap eksis sebagai salah
satu Kerajaan Maluku di Utara Halmahera. Sebagai Kerajaan Maluku yang terletak
di Utara Halmahera, Kerajaan Loloda berkedudukan sebagai “Ngara Mabeno”
(Dinding Pintu) yang berfungsi sebagai penjaga Pintu dari Utara.
Dalam memori serah terima jabatan Gubernur VOC
Maluku dari Robertus Padtgbrugge (1677-1682) kepada penggantinya Gubernur Yacob
Loobs (1682-1684), secara jelas telah menyampaikan kedudukan Raja-raja Maluku
yakni ; Loloda, Ngara Mabeno (Dinding Pintu), Jailolo, Jiko maklano (Penguasa
Teluk), Tidore, Kie Makolano (Penguasa Pegunungan), Ternate, Alam Makolano
(Penguasa Maluku) dan Bacan, Dehe Makolano (Penguasa Daerah Ujung). Dari memori
ini menunjukan bahwa sampai abad ke-17, Kerajaan Loloda tersebut masih tetap
eksis dan berintegrasi sebagai salah satu Kerajaan Maluku sebagaimana halnya
Kerajaan Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo. Bahkan bila dikaji secara
objektif, bisa dijelaskan bahwa eksistensi Kerajaan Jailolo-lah yang kemudian
berakhir pada abad ini juga yakni pada pada tahun 1684 ketika wafatnya Pangeran
Jailolo Kaicil Alam. Perlu juga ditambahkan bahwa sebelum wafat, Kaicil Alam
telah ditempatkan sebagai kerabat Kesultanan Ternate karena dinikahi dengan
Boki Gamalama adik Sultan Sibori Amsterdam Ternate. Setelah Kacil Alam wafat,
maka Jailolo yang sebelumnya berstatus sebagai Kerajaan menurun menjadi Distrik
dibawah otoritas Kesultanan Ternate dengan Kepala Distrik atau Hoofh Distrik
bergelar Sangaji Jailolo.
Sementara status dan pengaruh politik Kerajaan Loloda baru mengalami degradasi pada Abad ke-18. Kondisi ini bisa dilihat bahwa secara politis, dalam abad ke-18 ini Maluku Utara hanya terbagi kedalam tiga kerajaan yang mempunyai hubungan formal dengan VOC yang berkepentingan mengamankan monopoli remaph-rempah. Ketiga kerajaan tersebut adalah ; Ternate. Tidore dan Bacan. Sdangkan Kerajaan Loloda seakan-akan disetarakan statusnya setingkat Distrik seperti halnya Kerajaan Jailolo yang telah menjadi Distrik sejak abad ke-17. Hal ini bisa dilihat berdasarkan sumber sejarah yang tersediah menjelaskan bahwa dalam abad ke-18 ini terdapat sembilan Distrik di Halmahera Utara yang berada dibawah Kesultanan Ternate, yakni ; (1) Galela (2) Tobelo (3) Kau (4) Loloda (5) Gamkonora (6) Tolofuo (7) Tobaru (8) Sahu dan (9) Jailolo. Juga terdapat satu Distrik di Zazirah selatan yakni Distrik Gane. Dalam sumber ini lebih jelas diungkapkan bahwa Penguasa Loloda tidak pernah menyandang gelar Kepala Distrik atau yang biasa disebut Sangaji, tetapi Penguasa Loloda tetap menggunakan gelar Kolano Loloda. Ini menunjukan bahwa ada upaya Penguasa Loloda untuk mempertahankan integritas Kerajaannya. Sementara di Jailolo, Kepala Distriknya tetap menggunakan gelar Sangaji Jailolo.
Status Jailolo kemudian mengalami kontroversi
antara Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore ketika Sultan Nuku sengaja
membangkitkan kembali Kerajaan Jailolo pada tahun 1796 dengan mengangkat Jogugu
Kesultanan Tidore dengan gelar Muhammad Arif Billa sebagai Sultan Jailolo.
Sebelum memangku jabatan Jogugu, Muhammad Arif Billa pernah memangku jabatan
Sangaji Tahane Makian sehingga ia sering disebut Jogugu Tahane. Upaya Nuku
untuk menghidupkan kembali Kerajaan Jailolo ini merupakan inspirasi dari
cita-cita pendahulunya yakni Sultan Syaifuddin yang pernah berinisiatif untuk
menghidupkan kembali Kerajaan Jailolo sebagai salah satu pilar pranata politik
di Maluku. Akan tetapi inisiatif Sultan Sayifudin ketika itu tidak pernah
ditanggapi oleh VOC maupun Kesultanan Ternate sebagai patner kepercayaannya.
Keberadaan Kerajaan Jailolo yang dibentuk oleh
Nuku dengan mengangkat Muhammad Arif Billa sebagai Sultan Jailolo sesungguhnya
menimbulkan kontroversi antara sebagian orang-orang Alifuru yang telah menjadi
kawula Kesultanan Ternate dan sebagian lainnya yang menyatakan setia kepada
Nuku. Hal ini terjadi karena Muhammad Arif Billa bukan berasal dari keturunan
Raja-raja Jailolo. Akan tetapi menurut Nuku, bahwa pengangkatan Muhammad Arif
Billa sebagai Sultan Jailolo adalah sah. Dalam satu suratnya kepada Gezaghebber
Ternate, Nuku menjelaskan bahwa pengangkatan Raja Jailolo itu didukung tidak
saja oleh para Bobato negeri Soa-sio dan negeri-negeri lainnya di Pulau Tidore,
tetapi juga oleh para Bobato Halmahera Timur (Maba, Weda, Patani) dan beberapa
Bobato di Halmahera Utara termasuk Raja Loloda dan anggota bangsawan Ternate yang
melarikan diri ke Tidore.
Dalam uraian Surat Nuku kepada Gesaghebber
Ternate di atas, bisa dikatakan bahwa Kerajaan Loloda dalam pandangan Nuku pun
masih memiliki kekuasaan atas wilayahnya. Sedangkan fungsi Kesultanan Jailolo
yang baru dibentuknya itu pada prinsipnya berada dibawah Nuku dalam mengimbangi
hegemoni terhadap Kerajaan-kerajaan Maluku lainnya terutama Ternate. Sementara
dimata Kesultanan Ternate, bisa dikatakan bahwa status Jailolo tetap merupakan
sebuah Distrik yang berada dibawah otoritasnya.
Eksistensi Kerajaan Jailolo yang dibentuk oleh
Nuku di atas ternyata tidak berlangsung lama, Setelah Nuku wafat pada tahun
1805, integritas Kerajaan Jailolo inipun terancam dan mendorong Raja Jailolo
Muhammad Arif Billa bersama keluarga dan pengikutnya meningalkan Jailolo.
Mereka memburu hutan belantara menuju pedalaman Timur Halmahera dan akhirnya
Muhammad Arif Billa tewas akibat terjatuh di sebuah jurang yang sangat
berbahaya. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1807. Setelah Muhammad Arif Billa
wafat, puteranya Kimalaha Sugi mendeklarasikan dirinya sebagai Sultan Jailolo
dihadapan pengikutnya dengan gelar Muhammad Asgar. Ketika Inggris berkuasa di
Maluku (1810-1817), Muhammad Asgar tidak diakui sebagai Sultan Jailolo karena
ia belum pernah diangkat oleh satu penguasa yang berhak, dan menurut Inggris ia
tidak berhak menggunakan gelar Sultan Jailolo. Ia kemudian ditangkap dan di
asingkan ke Seram Utara. Dari peristiwa inilah keluarga dan pengikut Muhammad
Asgar kemudian mengungsi ke Seram Utara untuk bergabung dengan Muhammad Asgar
yang dianggap sebagai Rajanya. Akan tetapi ketika Inggris menyerahkan kembali
kekuasaan di Maluku kepada Belanda pada tahun 1817, Muhammad Asgar kemudian
diserahkan kepada Belanda. Ketika Muhammad Asgar mengajukan permohonan kepada
Panitia pengambil alih kekuasaan dari Inggris kepada Belanda-agar dibebaskan
dan diperkenankan untuk kembali memimpin masyarkatnya di Halmahera, ia pun
kemudian diasingkan lagi oleh Belanda ke Jepara.
Setelah Muhammad Asgar diasingkan ke Jepara,
adiknya Hajudin menyatakan dirinya sebagai Sultan Jailolo terhadap pengikutnya.
Ia dan pengikutnya meminta kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mengakui
sebagai Sultan Jailolo. Permintaan itu dilakukan melalui tekanan dan aksi-aksi,
akan tetapi upaya mereka tidak pernah ditanggapi oleh pihak Belanda bahkan
Hajudin dinyatakan statusnya sebaai buron dan pembangkan.
Pengakuan Pemerintah Hindia Belanda tehadap
Kerajaan Jailolo sebagamana yang diupayakan oleh Hajudin dan pengikutnya di
atas, baru membuahkan hasil ketika Pitter Merkus menjabat sebagai Gubernur
Maluku (1822-1828). Akan tetapi Gubernur Pitter Merkus mengusulkan agar Kerajaan
Jailolo yang akan dibentuk berlokasi di suatu koloni wilayah di Seram Pasir
bukan di Halmahera. Usulan ini akhirnya diterima oleh Hajudin, namun kedudukan
Sultannya diserahkan kepada kakaknya Muhammad Asgar yang berada di Jepara.
Berdasarkan permintaan Hajudin tersebut, pada tahun 1825 Pemerintah Hindia
Belanda pun mengembalikan Muhammad Asgar ke Ambon dan pada tangal 25 Januari
1826, Muhammad Asgar dilantik sebagai Sultan Jailolo yang akhirnya dikenal
dalam sejarah sebagai Kerajaan Jailolo di pengasingan Seram. Sebagai Kerajaan
yang memiliki hubungan politik dengan Belanda, Kerajaan Jailolo di pengasingan
Seram inipun praktis berada dbawah kendali Pemerintah Hindia Belanda. Ketika
Muhammad Asgar dan pengikutnya membangkan ingin kembali membangun kekuasaannya
di Jailolo Halmahera, pada tahun 1830 Pemerintah Hindia pun kemudian
melikuidasi Kerajaan Jailolo di Pengasingan Seram ini. Muhammad Asgar dan
keluarganya kemudian diasingkan ke Cianjur Jawa Barat. Peristiwa ini menandakan
berkahirnya Kerajaan Jailolo babak kedua. Sementara Status Jailolo di Halmahera
tetap merupakan sebuah Distrik dibawah otoritas Kesultanan Ternate dengan Kepaa
Distrik bergelar Sangaji Jailolo. Pada tahun 1868, status Distrik Jailolo
berubah menjadi Soa/Kampung dengan Kepala Kampung bergelar Fanyira Jailolo. Belakangan
pada tahun 1886, Dano Hasan Baba seorang bangsawan asal Ternate berupaya untuk
menghidupkan kembali Kerajaan Jailolo. Ia meminta kepada Pemerintah Hindia
Belanda untuk mengakuinya sebagai Sultan Jailolo. Akan tetapi permintaannya
tidak pernah mendapat respon positif bahkan ia dianggap menjadi pembangkan. Dano
Hasan kemudian ditangkap dan diasingkan ke Pulau Muntok Sumatera.
Sementara status Loloda tetap dipandang sebagai
sebuah Distrik meskipun Penguasa Loloda tidak pernah menyandang gelar Kepala
Distrik atau sangaji tetapi senantiasa memakai titel Kolano Loloda. Dalam
Suarat Gezaghebber Ternate tertanggal 8 September 1808 yang memuat laporan
tahunan kepada Gubernument, menjelaskan bahwa Kepala Distrik Loloda yang memakai
titel Kolano Loloda memiliki perangkat Pemerintahan seperti pada Kerajaan
Ternate yakni Bobato Madopolo yang lengkap yang terdiri dari Jogugu, Kapita
Laut, Hakim sampai pada Sowohi dan Jabatan-jabatan dibawah lainya. Kenyataan
ini menunjukan bahwa pada abad ke-19 ini, Kerajaan Loloda masih tetap eksis,
hanya saja peranan politiknya tidak bisa mengimbangi kekuatan politik Kerajaan
Ternate, Tidore dan Bacan. Bahkan Loloda seakan-akan berada dibawah Kesultanan
Ternate dalam membangun hubungan politik dan ekonomi dengan Belanda.
Dalam Silsilah Raja-raja Loloda maupun sumber-sumber lisan masyarakat Loloda, mengungkapkan bahwa Kerajaan Loloda baru brakhir pada awal abad ke-20 yakni pada tahun 1908. Dalam sejarah masyarakat Loloda, tahun 1908 dikenang dengan sebutan Kolano Madodogu (Masa Raja terakhir). Peristiwa ini berkaitan dengan pergolakan politik di internal kerajaan dan pengaruh kebijakan Pemerintah Hindia Belanda terhadap pembayaran Balasting (Pajak Diri). Diungkapkan dalam kisah ini bahwa ketika wafatnya Kolano Sunia dalam bilangan awal abad ke-20 ini, terjadi perebutan Tahta Kolano Loloda oleh empat orang Kaicil (Jongofa) yakni Jongofa Arafane, Jongofa Syamsudin, Jongofa Nasu dimana ketiganya merupakan putera dari Kolano Sunia dan Jongofa Koyoa yang merupakan putera dari Kapita Lau Dumba. Dalam perebutan ini, Jongofa Syamsuddin berhasil menduduki Tahta Kolano Loloda atas keinginan para Bobato dan pertimbangan Kesultanan Ternate maupun Belanda. Sementara Jongofa Arafane direstui sebagai Kapita Lau, Jongofa Nasu diberi penghormatan sebagai Kapita Lau Majojo (Kapita Lau Muda). Sementara Kayoa hanya berhak menyandang gelar Jongofa atau Kaicil. Karena tidak merasa puas dengan kedudukannya, Koyoa pun kemudian memutuskan untuk tidak bergabung dengan keluarga Istana. Ketika dilakukan penagihan Balasting oleh pegawai utusan Belanda di Loloda, Kayoa mengajukan protes terhadap Kolano Syamsuddin karena dianggap tidak bijaksana menjadi seorang Kolano. Ia membiarkan pihak Belanda memungut pajak secara semena-mena terhadap rakyat. Menurut Kayoa, pembayaran Balasting atau pajak mesti diserahkan oleh rakyat kepada pihak kerajaan bukan kepada Belanda.
Aksi Kayoa ini diekspresikan dengan memprovokasi
warga untuk menjatuhkan kewibawaan Kolano Syamsuddin. Ketika utusan/mantri
Pajak Belanda sedang berada di dalam Keraton Loloda, seorang Kapita dari Soa
Laba yang bernama Sikuru dengan dua rekannya Bagina dan Tasa dari Soa Bakun
mendatangi Keraton sambil membunuh Mantri Pajak Belanda tersebut di hadapan
Kolano Syamsuddin dan Joboki Habiba sebagai bentuk protes terhadap Kolano
Syamsuddin. Kapita Sikuru, Bagina dan Tasa adalah pesuruh Kaicil Kayoa. Akibat
pembunhan terhadap Mantri Pajak Belanda di atas, menimbulkan amarah pihak
Belanda karena dianggap menentang kebijakan Pemerintah Hindia. Belanda pun
kemudian mendatangkan aparat keamanannya untuk meredah aksi yang dilakukan oleh
tiga warga Loloda tersebut. Akan tetapi kedatangan aparat Belanda di Loloda
tersebut sempat dihadang oleh Kapita Sikuru dari Soa Laba dan sekelompok masyarakat
yang telah disiapkan oleh Kaicil Kayoa. Perlawanan ini oleh masyarakat Loloda
dikenang sebagai peristiwa Perang Laba (Rogu Laba) tahun 1908.
Perlawanan terhadap Belanda tersebut, mengakibatkan Kolano Syamsuddin diminta untuk mempertanggungjawabakan aksi warganya. Ia kemudia dibawah ke Ternate bersama
Permaisurinya Joboki Habiba dan anak-anaknya.
Karena tidak dapat mempertanggung jawabkan aksi yang dilakukan oleh warganya,
Kolano Syamsuddin pun kemudian tidak diperkenankan kembali ke Loloda. Ia sempat
dibawah ke Jawa dan baru diperkenankan kembali ke Ternate pada tahun 1915.
Sementara Permaisurinya dan anak-anaknya tetap berada di Ternate. Joboki Habiba
wafat pada tahun 1912 dan Kolano Syamsuddin wafat pada tahun 1915. Keadaan ini
menggambarkan bahwa Kolano Syamsudin wafat setelah dikembalikan oleh Belanda dari
pengasingan di Pulau Jawa. Sementara di Jailolo, pemberontakan serupa baru
terjadi pada tahun 1914 yang dipelopori oleh Kapita Banau. Atas pemberontakan
tersebut, Kontrollir Belanda Aggerbek tewas terbunuh.
Sebagai akibat dari pemberontakan yang dilakukan
oleh warga Jailolo tersebut di atas yang telah menjadi kawula Kesultanan
Ternate mengakibatkan Sultan Ternate Muhammad Usman Sjah dituduh oleh Belanda
terlibat dalam pemberontakannya. Atas tuduhan itu, maka melalui Keputusan
(Besluit) Gubernument no. 47 tertanggal 23 September 1915, Sultan Muhammad
Usman kemudian dinyatakan diberhentikannya sebagai Sultan Ternate. Ia dan
putera tertuanya diasingkan ke Bandung dan baru diperkenankan kembali ke Ternate
pada tahun 1933. Semasa dalam pengasingannya, Pemerintahan Kesultanan Ternate
dijalankan oleh para Bobato. Hal ini berdasarkan Besluit Pemerintah Hindia
Belanda no. 7 tangal 10 Mei 1916.
Setelah diasingkannya Kolano Syamsuddin sejak tahun 1908 ketika terjadi pergolakan di Loloda, maka mulai saat itulah Kerajaan Loloda pun berakhir. Loloda pun kemudian menjadi wilayah otoritas penuh dibawah Kesultanan Ternate, meskipun pada masa sebelumnya Loloda sudah merupakan bagian dari Kerajaan Ternate dalam membangun hubungan politik dan ekonomi dengan Belanda. Berdasarkan sumber-sumber dari masyarakat Loloda, bahwa setelah berakhirnya kekuasaan Kolano Syamsuddin atas negeri Loloda, Pemerintahan di Loloda kemudian disesuaikan dengan menggunakan gelar Sangaji. Hal ini berbeda dengan masa sebelumnya, yakni Penguasa Loloda senantiasa memakai titel Kolano Loloda. Dijelaskan lebih lanjut bahwa para sangaji Loloda adalah orang-orang luar yang ditempatkan oleh pihak Kesultanan Ternate. Belakangan pada tahun 1930, status Distrik Loloda dibagi menjadi empat Onder Distrik dengan Kepala Onderf Distrik (Hoof Onder Distrik) disebut Hamente (terkadang disebut Kepala Mente), yakni (1) Onder Distrik Soa-sio yang mencakup wilayah Loloda bagian Selatan dengan Kepala Onder Distrik atau Hamente dipegang oleh Kaicil Djami Bin Syamsuddin (Putera Kedua Kolano Syamsuddin). (2) Onder Distrik Baja yang mencakup wilayah Loloda bagian Tengah dengan kepala Onder Distrik atau Hamente dipegang oleh Kaicil Puasa (Putera Kapita Lau Arafane), (3) Onder Distrik Dama untuk wilayah Loloda bagian Kepulauan dengan Kepala Onder Distrik atau Hamente dipegang oleh Hammanur, dan (5) Onder Distrik Dorume untuk Loloda bagian Utara. Hal ini berdasarkan Zelf Bestuur Releging Pemerintah Hindia Belanda tahun 1930 yang tetap membagi Pemerintahan Maluku Utara kedalam tiga Swapraja Kesultanan yakni Swaparaja Kesultanan Ternate, Tidore dan Bacan. Tiap Swaparaja Kesultanan dibagi kedalam beberapa Distrik dan Distrik membawahi beberapa Onder Distrik.
C. Status Kerajaan Loloda setelah Kemerdekaan
Indonesia.
Pada masa-masa awal kemerdekaan Indonesia,
Pemerintahan Maluku Utara masih menerapkan pola Pemerintahan sebelumnya yakni
kolaborasi antara pola Pemerintahan ala kerajaan dan pola Pemerintahan Hindia
Belanda. Pada fase ini daerah Maluku Utara masih berbentuk Keresidenan.
Sedangkan pada tingkat bawah dinamakan Distrik dengan Kepala Distrik disebut
Sangaji. Sementara Onder Distrik sudah tidak diberlakukan. Keadaan ini
berlangsung sampai tahun 1960 saat perubahan nomenklatur dari nama Keresidenan
menjadi Kabupaten dan Distrik berubah menjadi Kecamatan. Salah satu ciri yang
membedakan dengan masa sebelum kemerdekaan adalah Kepala Keresidenan atau
Residen pada masa setelah kemerdekaan ini dijabat oleh Sultan. Adapun nama-nama
Residen Maluku utara dimaksud adalah :
1. Residen
Iskandar Muhammad Djabir Sjah (Sultan Ternate) 1945-1954
2. Residen
Zainal Abidin Sjah (Sultan Tidore) 1954-1956
3. Residen Dede
Muksin Usman Sjah (Sultan Bacan) 1956-1960
Berkenaan dengan
pola Pemerintahan di atas, maka pengangkatan dan penempatan para Kepala Distrik
atau sangaji masih menjadi kewenangan Sultan yang juga sebagai Kepala Daerah
atau Residen, tidak terkecuali bagi Distrik Loloda.
Status Loloda sebagai Distrik merupakan
konsekwensi dari sistem penyetaraan status Kerajaan Loloda setingkat Distrik
sejak abad ke-18 meskipun Kepala Distrik Loloda (Hoofh Distrik) senantiasa
memakai titel Kolano Loloda. Akan tetapi satu hal yang berbeda setelah
kemerdekaan Indonesia ini adalah terdapat kedudukan Sangaji Loloda dan juga ada
kedudukan Jogugu Loloda. Sangaji Loloda ditempatkan oleh Residen Maluku Utara
saat itu yang juga selaku Sultan Ternate untuk menjalankan Pemerintahan
Distrik. Sedangkan Jogugu Loloda dikukuhkan oleh Kesultanan Ternate sebagai Pewaris
dan Pengemban Kerajaan Loloda. Adapun Jogugu Loloda pada masa itu adalah Kaicil
atau Jongofa Djami Bin Syamsuddin, putera kedua Kolano Syamsuddin (Raja Loloda
terakhir). Dalam kedudukannya sebagai Jogugu Loloda yang dikukuhkan oleh
Kesultanan Ternate, keberadaannya dalam masyarakat Loloda, ia diangap sebagai
Kolano. Hal ini dilakukan karena kebiasaan masyarkat Loloda yang mengangap
seorang Jongofa (Putera Mahkota) adalah pewaris Tahta Kolano sebagaimana yang
melekat pada Jongofa Hi. Djami Bin Syamsuddin. Oleh masyarakat Loloda ketika
itu, ia mendapat penghormatan sebagaimana layaknya seorang Kolano. Ia tidak
disebut sebagai Jogugu melainkan Jou Kolano. Realitas ini menunjukkan bahwa
ketika Kerajaan Loloda disetarakan setingkat Distrik oleh Belanda dan Kesultanan
Ternate pada abad ke-18, Penguasa Loloda tidak pernah menyandang gelar Kepala
Distrik atau sangaji tetapi seantiasa menggunakan titel Kolano Loloda.
Ketika menjalankan fungsi dan perannya sebagai
Jogugu yang juga diangap sebagai Kolano Loloda saat itu, ia dibantu oleh
beberapa perangkat Bobato seperti kapita Lau yang disandang oleh Jongofa
Syahjuan (Putera Kapita Lau Majojo, Nasu), Johukum Soa-sio yang disandang oleh
Jongofa Nanggu (Putera sulung Kolano Syamsuddin) dan Imam Loloda, Umar Bin Malan.
Sementara adiknya, Djama hanya memakai titel Jongofa (Putera bungsu Kolano
Syamsuddin). Perangkat-perangkat Bobato ini memiliki kesamaan pada abad ke-18.
Hal ini bisa dilihat dari uraian Surat Gezaghebber Ternate tertangal 8
September 1808 sebagaimana disebutkan di atas.
Meskipun fungsi Jogugu yang juga dianggap sebagai Kolano di atas terbatas pada masalah-masalah Pemerintahan, akan tetapi status sosialnya sangat berpengaruh terhadap masyarakat. Bahkan pengaruhnya lebih mendominasi peran Sangaji Loloda saat itu. Akan tetapi ketika ia wafat, maka kedudukan Jogugu atau Kolano Loloda ini pun praktis vakum. Tiga puteranya, masing-masing Jongofa Abd. Malik, Jongofa Maulud dan Jongofa Haibu pun tidak dapat mengambil fungsi dan peran Jogugu/Kolano Loloda di atas. Hal ini karena tidak ada inisiatif baik dari masyarakat Loloda maupun Kesultanan Ternate. Jogugu/Kolano Loloda ini wafat pada tahun 1977 di Ternate, tanah asal Ibunya dan dimakamkan dipekuburan keluarga Klan Jiko Ternate. Ibunya Joboki Habiba berasal dari Soa Moti Kasturian Kesultanan Ternate.
Meskipun fungsi Jogugu yang juga dianggap sebagai Kolano di atas terbatas pada masalah-masalah Pemerintahan, akan tetapi status sosialnya sangat berpengaruh terhadap masyarakat. Bahkan pengaruhnya lebih mendominasi peran Sangaji Loloda saat itu. Akan tetapi ketika ia wafat, maka kedudukan Jogugu atau Kolano Loloda ini pun praktis vakum. Tiga puteranya, masing-masing Jongofa Abd. Malik, Jongofa Maulud dan Jongofa Haibu pun tidak dapat mengambil fungsi dan peran Jogugu/Kolano Loloda di atas. Hal ini karena tidak ada inisiatif baik dari masyarakat Loloda maupun Kesultanan Ternate. Jogugu/Kolano Loloda ini wafat pada tahun 1977 di Ternate, tanah asal Ibunya dan dimakamkan dipekuburan keluarga Klan Jiko Ternate. Ibunya Joboki Habiba berasal dari Soa Moti Kasturian Kesultanan Ternate.
Sebagaiman telah dikemukakan sebelumnya bahwa
setelah kemerekaan Indonesia, status dan struktur Kelembagaan Adat Kerajaan
Moloku Loloda ini kemudian mengalami reduksi dari kepemimpinan Raja/Kolano
menjadi setingkat Jogugu. Kondisi ini terjadi karena pengaruh Kesultanan
Ternate yang mendominasi system politik local ketika itu. Jogugu Kerajaan
Moloku Loloda tersebut diangkat oleh Kesultanan Ternate dari Putera Mahkota
Kolano Loloda, Kaicil Hi. Djamilullah Bin Syamsuddin. Gelar Jogugu bisa
disamakan dengan Mangkubumi. Dalam meniatur Negara, Jogugu atau Mangkubumi
disamakan dengan Jabatan Perdana Menteri. Dengan demikian, bisa diungkapkan bahwa
setelah kemerdekaan Indonesia, Jogugu Loloda memegang peranan utama dalam
kepemimpinan Lembaga Adat Kerajaan Moloku Loloda. Dalam menjalankan fungsinya,
Jogugu Kerajaan Moloku Loloda didampingi oleh perangkat utamanya seperti Kapita
Lau, Hukum Soa-sio, Tuli Lamo dan Sowohi. Kapita Lau dapat disamakan dengan
Panglima Armada Laut. Hukum Soa-sio adalah Menteri Urusan Dalam Negeri, Tuli
Lamo sebagai Sekretaris dan Sowohi berfungsi sebagai Humas dan Protokoler.
Lembaga Adat Kerajaan Moloku Loloda dengan kepemimpinan Jogugu ini senantiasa eksis dizamannya hingga Jogugu tersebut wafat pada tahun 1977. Sejak saat itu Lembaga ini mulai vakum selama 31 tahun, dan baru pada tahun 1999 dibangkitkan kembali atas insiatif Kesultanan Ternate dengan mengangkat Kaicil (Pangeran) Bayan A. Syamsuddin sebagai Jogugu Kerajaan Moloku Loloda beserta perangkat Bobatonya. Akan tetapi pada tahun 2004 lalu, Jogugu Bayan A. Syamsuddin ini pun tutup usia, dan kelembagaan Adat Kerajaan Moloku Loloda dengan perangkat Bobato seperti Kapita Lau dan Hukum Soasio terkesan berjalan ditempat karena pengaruh usia yang telah lanjut.
Untuk mengisi kekosongan kedudukan Jogugu
Kerajaan Moloku tersebut, maka sesuai Adat Se-Atorang (hukum adat Loloda),
telah dinobatkan Kaicil (Pangeran) Lutfi M. Syamsuddin. A.Ptnh sebagai Jogugu
Kerajaan Moloku Loloda. Penobatannya dilaksanakan dalam suatu Upacara Kebesaran
Adat Loloda pada tanggal 30 Oktober 2008 di Keraton Kesultann Ternate.
Status dan keberadaan Jogugu Loloda bersama Bobatonya di atas pada prinsipnya memiliki ciri yang tidak berbedah jauh pada Kesultanan Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo. Hal ini bisa dilihat dari kedudukan Tau raha (Komisi 4) pada Kesultanan-kesultanan di atas sebagai berikut :
Status dan keberadaan Jogugu Loloda bersama Bobatonya di atas pada prinsipnya memiliki ciri yang tidak berbedah jauh pada Kesultanan Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo. Hal ini bisa dilihat dari kedudukan Tau raha (Komisi 4) pada Kesultanan-kesultanan di atas sebagai berikut :
KesultananTernate:
1. Jogugu
1. Jogugu
2. Tuli Lamo
3. Hukum Soa-sio
4. Hukum Sangaji
Kesultanan
Tidore:
1 .Jogugu
2. Tuli Lamo
3. Kapita Kie
4. Hukum Soa-sio
Kesultanan
Bacan:
1. Jogugu
2. Tuli Lamo
3. Qadhie
4. Kapita Ngoga
Kesultanan
Jailolo:
1. Jogugu
2. Tuli Lamo
3. Kapita Lau
4. Qadhie
Sumber : Mudafar
Sjah, 2005.
Berdasarkan kedudukan Tau Raha pada masing-masing
Kesultanan di atas, maka di Loloda juga terdapat kedudukan Tau Raha (Komisi
Ngaruga) yakni ; Kapita Kie. Hukum Soasio, Hukum Bakun Malamo dan Sowohi.
Jogugu tidak masuk dalam Tau Raha, karena Jogugu meaksanakan fungsi Kolano
Loloda. Dengan demikian, maka Jogugu Loloda adalah Pewaris sekaligus Pengemban
Kolano Kerajaan Moloku Loloda adalah merupakan suatu keniscayaan sejarah.
Meskipun memiliki akses yang terbatas dalam kanca
politik lokal, realitas sejarah juga telah menunjukkan bahwa kerajaan Loloda
senantiasa eksis pada zamannya, dan cukup memberikan perkembangan khas
tersendiri dalam pembentukan masyarakat dan budayanya. Setidaknya hal ini bisa
dilihat dari penegasan identitas lokal masyarakat Adat Loloda.
Masyarakat Adat Loloda adalah bagian integral dari masyarakat Indonesia yang hidup berdasarkan asal-usul leluhurnya secara turun-temurun dalam suatu wilayah adat, dimana kehidupan sosial budayanya tidak terlepas dari pengaruh hukum adat dan lembaga adat. Adapun lembaga adatnya di-integrasikan kedalam satuan pemerintahan kerajaan. Kenyataan ini berlangsung hingga saat ini, dimana Kepemimpinan (Dada Madopo) Kerajaan dipegang oleh Jogugu sebagai Pewaris dan Pengemban Kolano Kerajaan Moloku Loloda
Masyarakat Adat Loloda adalah bagian integral dari masyarakat Indonesia yang hidup berdasarkan asal-usul leluhurnya secara turun-temurun dalam suatu wilayah adat, dimana kehidupan sosial budayanya tidak terlepas dari pengaruh hukum adat dan lembaga adat. Adapun lembaga adatnya di-integrasikan kedalam satuan pemerintahan kerajaan. Kenyataan ini berlangsung hingga saat ini, dimana Kepemimpinan (Dada Madopo) Kerajaan dipegang oleh Jogugu sebagai Pewaris dan Pengemban Kolano Kerajaan Moloku Loloda